PBB Tidak Pernah Sahkan Hasil Pepera 1969 dalam Resolusi 2405 : Pemekaran Provinsi Boneka Indonesia Di Tanah Papua Merupakan Upaya Terakhir Indonesia Untuk Pertahankan Papua Dalam Wilayah Indonesia

(Dr. Socratez Sofyan Yoman MA (Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua )

“Goodby Indonesia. Selamat Tinggal Indonesia. Kita pasti menjadi Negara tentangga dan sahabat yang baik ke depan. Tuhan memberkati kita.”


Oleh: Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman,MA

Pepera 1969 cacat hukum dan hasilnya tidak disahkan di PBB, tapi hanya DICATAT karena CACAT hukum dan moral yang dimenangkan ABRI yang bertentangan hukum internasional dan Perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962. 

Resolusi PBB 2405 bukan pengesahan hasil Pepera 1969. Dalam resolusi ini tidak ada satu katapun Papua Barat bagian sah dari wilayah Indonesia.

Resolusi PBB 2405 hanya memuat dua hal, yaitu:

1. Ucapan terima kasih kepada Bank Asia.

2. Penghargaan kepada UNTEA.

Jadi, keberadaan penguasa kolonial modern Indonesia di Tanah Papua adalah ilegal.

Karena pendudukan dan penjajahan Indonesia di Tanah Papua ilegal,maka dilegalkan pada Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, tetapi Otsus telah GAGAL TOTAL.

Ada upaya akal-akalan Indonesia pada saat Haji Dr. Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, yaitu Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang diketuai Jenderal TNI (Purn) Bambang Darmono. Tetapi, usaha ini GAGAL TOTAL.

Ada usaha perpanjang Otsus Jilid II yang benafas rasisme dan fasisme tanpa mendengarkan pendapat orang asli Papua. Otsus Jilid II GIGI OMPONG tanpa TARING. Karena, gigi dan taring dicabut oleh penguasa rasis dan fasis yang telah kehilangan nurani kemanusiaan.

Usaha terakhir ada Pemekaran 6 provinsi boneka Indonesia di Tanah orang-orang asli Papua tanpa diminta disetujui oleh orang asli Papua pemilik Tanah leluhur Papua.

Pemekaran Provinsi Boneka Kolonial Indonesia sungguh-sungguh memperlihatkan bahwa penguasa kolonial Indonesia kehilangan akal sehat, kehilangan hati nurani kemanusiaan dan munafik. Penguasa kolonial rasis dan fasis telah menyatakan kepada publik di Indonesia, di Papua Barat dan kepada komunitas Internasional bahwa Papua Barat adalah wilayah pendudukan dan penjajahan Indonesia dalam era modern.


Pemekaran provinsi boneka kolonial Indonesia tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan suatu pemerintahan yang benar, sehat dan kuat. Penguasa kolonial rasis dan fasis tidak mengindahkan syarat-syarat sebagai berikut: (a) Penduduk; (b) luas wilayah; (c) sumber daya alam; dan (d) sumber daya manusia.

Jenderal (Purn) TNI Prof. Dr. Ir. Drs. H.Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H. S.E., S.I.P., M.B.A., M.A., M.HAbdullah Mahmud Hendropriyono mempunyai syarat pemekaran provinsi ialah keanaman dan politik. Baca komentarnya sebagai berikut:

“Kalau dulu ada pemikiran sampai 7 provinsi. Yang diketengahkan selalu syarat-syarat untuk suatu provinsi. Yah, ini bukan syarat suatu provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Itu. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Bukan begini. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Jadi, syarat-syarat administratif seperti itu, ya, nanti  kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Begitu loh.  Tidak sampai dua juta pak. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta. Makanya saya bilang, usul ini, bagaimana kalau dua juta ini kita transmigrasikan. Ke mana? Ke Manado. Terus, orang Manado pindahin ke sini. Buat apa? Biarkan dia pisah secara ras sama Papua New Guini. Jadi, dia tidak merasa orang asing, biar dia merasa orang Indonesia. Keriting Papua itukan artinya rambut keriting. Itu, itukan, istilah sebutulnya pelecehan itu. Rambut keriting, Papua, orang bawah. Kalau Irian itukan cahaya yang menyinari kegelapan, itu Irian diganti Papua…”

Sementara Menteri Dalam Negeri Indonesia, Jenderal (Purn) Pol.Dr. Haji Tito Karnavian menyebut, rencana pemekaran wilayah Papua didasarkan atas alasan situasional.

“Ini kan situasional. Kita kan dasarnya data intelijen. Kemudian data-data lapangan kita ada. Situasi nasional.” ( Kompas.com 30/10/2019).

Pemekaran provinsi-provinsi boneka Indonesia di Tanah Melanesia di Papua Barat hanya kepentingan keamanan/militer, politik dan intelijen bukan untuk rakyat dan bangsa Papua Barat.

Seperti Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengakatan:

“Secara umum ada beberapa perubahan yang kami lakukan untuk menghadapi dinamika permasalahan di sana secara jangka panjang, yaitu dengan mengembalikan tugas-tugas atau operasi yang ada di Papua dan Papua Barat jadi bagian tugas satuan organik seperti di provinsi dan pulau lain.

“Ada menambah delapan titik baru di Papua dan Papua Barat, yakni Satgas Kodim Paniai, Kodim Intan Jaya, Kodim Puncak, Kodim Lani Jaya, Kodim Yalimo, Kodim Pegunungan Bintang, dan Kodim Nduga.”

“Di Papua itu secara umum ada delapan tambahan titik yang memang menurut kami saat ini kalau dilihat dari kebutuhan masih kurang banyak, tapi delapan yang penting saat ini karena kemampuan kami.” (Sumber: CNN, 24 Januari 2022).

Pemekaran 6 provinsi boneka kolonial Indonesia seperti Negara Boneka yang dibentuk Perdana Menteri Pither W.Bhota di Afrika Selatan dan akhirnya Negara Boneka buatan kolonial Inggris di Afrika Selatan tidak berumur panjang dan Afrika Selatan merdeka.

Jadi, sepertinya, Pemerintah Indonesia mengulangi seperti pengalaman penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1978, Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka:

1. Negara Boneka Transkei.

2. Negara Boneka Bophutha Tswana.

3. Negara Boneka Venda.

4. Negara Boneka Ciskei.

(Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).

Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua bukan urus pemekaran yang tidak sesuai dengan prosedur pemerintahan yang benar, baik dan sehat.  Terlihat jelas bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua” (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:

“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).

Kita semua dan termasuk penulis setuju dengan pendapat Dr. Agus Sumule, Peneliti dan Dosen UNIPA, dikutip sebagai berikut:

“Tidak ada dasar ilmilah yang menyatakan pemekaran perlu di Tanah Papua. Elit Papua yang memperjuangkan pemekaran sedang mengajak masyarakat Papua masuk dalam lorong kegelapan. Masyarakat dibuat tidak tahu bagaimana dampaknya. Kebijakan pemekaran ialah untuk non Papua, yaitu, mendatangkan transmigrasi skala besar di seluruh Tanah Papua. Akan terjadi ketimpangan dan kesenjangan.”

Penulis kembali sampaikan:  “PEMEKARAN PROVINSI BONEKA INDONESIA DI TANAH PAPUA ITU IDENYA HENDROPRIYONO DAN TITO KARNAVIAN BUKAN IDE ORANG ASLI PAPUA.”

“Pemekaran Provinsi Boneka Indonesia di Tanahnya orang Papua merupakan ide, pikiran, pendapat, dan gagasan dari Hendropriyono dan Tito Karnavian atau lebih tepat pikiran Militer untuk membangun basis-basis militer di seluruh Tanah Papua untuk merampok dan mencuri Sumber Daya Alam di seluruh Tanah Papua dengan siasat  manusianya disingkirkan, dimisikinkan, dilumpuhkan dan dibantai dan dimusnahkan secara sistematis, terstruktur, terprogram, masif dan kolektif. 

Ide, pikiran, pendapat dan gagasan Hebdropriyono, Tito Karnavian atau ide militer ini dilaksanakam oleh beberapa orang dari Papua. Lidah dan mulut beberapa orang asli Papua ini dipinjam dan digunakan oleh penguasa kolonial Indonesia untuk mensukseskan pendudukan dan penjajahan di Papua melalui pembentukan provinsi boneka bangsa kolonial  Indonesia yang rasis dan fasis modern yang berkultur militeristik dan barbar.

Jadi, sesungguhnya pemekaran 6 Provinsi Boneka Indonesia  di Papua Barat sebagai bencana besar bagi bangsa Indonesia dan juga bagi bangsa Papua Barat. Biaya pemekaran provinsi  Boneka Indonesia di Papua Barat dari dana utang pinjaman Luar Negeri dan konsekwensinya bangsa Indonesia akan digadaikan dan  kehilangan kedaulatannya.  Pemekaran provinsi boneka ini merupakan upaya terakhir penguasa Indonesia untuk mempertahankan Papua Barat dalam wilayah Indonesia setelah Otonomi Khusus No.21 Tahun 2001 sebagai  solusi politik  Win Win Solution antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat yang didukung Uni Eropa telah GAGAL TOTAL. Pemekaran Provinsi Boneka Indonesia di Papua Barat adalah kebijakan penguasa kolonial  Indonesia berwatak rasis, fasis dan berkultur kekerasan militer  yang akan menjadi BLUNDER bagi Indonesia sendiri.

Selamat membaca. Selamat menjadi tahu dan sadar. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, Sabtu, 5 Maret 2022.


1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

            (Vullmembers Alampa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

satu jujur dan bertindak tegas sesuai hukum humaniter